Rabu, 06 Agustus 2008

ANAK dan TANGGUNG JAWAB KITA

Dari: Keluarga Sakinah

SEORANG teman pernah bercerita soal anak dan tanggung jawab. Suatu
hari dia menyeberang jalan, di sebuah jalanan di Spanyol. Seperti
biasa, sebagai orang Indonesia, ia menyeberang tanpa melalui
zebra-cross. Saat itu memang tak ada mobil, sepi, juga tak ada polisi;
kecuali seorang ibu dengan anaknya yang masih balita. Begitu ia sampai
ke seberang jalan, terdengar teriakan si ibu dari seberang jalan yang
baru saja ia tinggalkan.
"Hei..hei... ke Sini!!". Kira-kira begitu teriakan ibu itu.
Mendengar seorang ibu yang berteriak sambil melambaikan tangan, lagi
sebagai orang Indonesia, teman ini langsung kembali menyeberang. Pasti
ada apa-apa dengan ibu ini, ia butuh pertolongan. Sesampainya di dekat
ibu itu, ia dibentak, "Hai, kenapa kamu menyeberang bukan dari zebra-cross?
Tahukah kamu, kelakuanmu itu sudah mengajari anak saya melanggar
peraturan, kamu sudah menanamkan dalam memorinya bahwa melanggar
peraturan itu sesuatu yang biasa-biasa saja!"
Cerita ini mengagetkan teman saya, juga saya. Soal orang Indonesia
melanggar peraturan bukanlah hal yang mengejutkan. Namun argumen ibu
itu yang mengaitkan pelanggaran dengan masa depan anaknya itulah yang
lebih mengejutkan. Begitu pentingnya masa depan anak-anak bagi ibu
itu, begitu pentingnya ibu itu menjaga memori dan kesadaran anaknya
agar tetap terjagadalam perbuatan baik. Bagaimana dengan kita?
Pertengahan bulan Juli ini, saya memiliki cerita yang lain tentang
orang tua dan anaknya. Kali ini dari tetangga-tetangga saya yang mau
menyekolahkan anaknya di SMP. Konon, sang anak adalah juara umum di
sekolahnya dan dapat mengikuti test masuk SMP dengan mudah.
"Mudah-mudahan anak saya bisa masuk pilihan pertamanya!" harap sang bapak.
Tanggal 11 malam, sang bapak bertemu lagi dengan wajah yang muram,
lebih tepatnya penuh kekecewaan, "Anak saya gagal, semula nilainya 80,
saya sudah mengeceknya lewat SMS. Eh...kemarin nilainya jadi 67. Saya
protes, dan guru-guru di SMP itu minta maaf atas kekhilafannya. Lalu,
mereka menawarkan jalan belakang, biasa dengan bayar sekian rupiah!"
Tetangga saya menolak untuk membayar, ia biarkan anaknya ke sekolah swasta saja.
"Saya tak mau anak saya belajar di sekolah pembohong!"
Menurut sahibul gosip, melorotnya nilai anak tetangga saya itu karena
ada beberapa anak lain yang nilainya rendah dikatrol dengan cara
membayar sekian rupiah. Tentu saja yang membayarnya adalah orang tua,
dan yang menerimanya adalah guru yang terhormat. Marilah kita
bandingkan sikap dan tanggung jawab kita pada anak-anak. Keputusan
untuk membayar sejumlah rupiah demi sang anak tentu didasari pilihan
untuk memberikan kasih saying yang terbaik buat sang anak, namun pada
saat yang bersamaan kita telah menanamkan racun pada kesadaran
anak-anak itu.
Racun itu adalah,
1) uang bisa menyelesaikan segalanya;
2) tak usah berprestasi, biasa-biasa saja, nanti juga uang bisa
menambalnya.
Barangkali dari peristiwa kecil inilah korupsi membudaya. Tanpa sadar
kita melakukannya setiap hari, dan repotnya lagi kita melakukan itu di
depan anak-anak kita. Anak-anak yang masih polos itu pastilah telah
mencatat di relung kesadarannya dan menjadikannya falsafah hidup
sepanjang hayat.
Terlebih lagi, peristiwa ini dialami sang anak di lembaga pendidikan
yang semua aspeknya merupakan nilai mulia yang harus ditiru dan
diteladani.
Marilah kita bercermin lagi pada cerita yang lain. Cerita kali ini
datang dari salah seorang cucu Mahatma Ghandi. Ia dan anaknya pergi ke
suatu tempat. Karena acara sang ayah agak lama, sang anak diizinkan
untuk membawa mobil itu bagi keperluannya sendiri. "Syaratnya, jam
sekian kamu harus berada di sini, menjemput bapak!" ujar sang ayah.
Pada jam yang ditentukan sang anak belum kembali, menit demi menit
sang anak belum juga kembali. Sang ayah menunggu sampai beberapa jam.
Lalu, sang anak datang dan mengajukan permohonan maafnya.
"Baiklah kalau begitu," ujar sang ayah, "naikilah mobil itu, bawalah
pulang. Saya akan jalan kaki ke rumah!" Sang anak protes dan merasa
bersalah. Namun sang Ayah tetap saja jalan kaki sambil
berpesan,"Mengingkari janji adalah kesalahan terbesar dalam hidup ini,
kamu sudah melakukannya padaku. Semua itu pastilah bukan kesalahanmu,
itu semua Karena saya salah mengajarimu, nak. Karena itu biarlah ayah
menghukum diri, menghukum kesalahan pendidikanku padamu!" Sejak saat
itu, sang anak tak pernah lagi mengingkari janji.
Seluruh kisah-kisah ini adalah bahan refleksi kita pada Hari Anak.
Benarkah kita serius merawat anak kita yang sering kita sebut sebagai
amanah (titipan) dari Allah? Betapa mulia kata-kata "amanah (titipan)
Allah".Padaistilah ini terlihat relasi antara Allah dan kita yang
sedemikian akrab,Allah percaya pada kita karena itu Dia menitipkan
sesuatu yang berharga.Lazimnya titipan, ia harus tetap seperti nilai
awalnya. Nilai awal sang anak adalah fitrah, dan harus tetap fitrah.
Fitrahnya adonan untuk dicetak, fitrahnya perhiasan untuk membuat
bangga pemakainya, fitrahnya sang anak tentu bukan untuk "dicetak"
agar "membuat bangga" orang tuanya. Sang anak adalah sebutir benih
yang begitu rapuh,butuh tanah yang baik dan pemeliharaan yang sesuai
takaran.Kecenderung an benih adalah terus mencari cahaya, tetapi putik
kecil bisa saja ditipu --diberi cahaya palsu-- dan memercayainya
seumur hidup.
Bisakah kita menjadi tanah, yang menerima amanat secara jujur? Tanah
tak pernah menumbuhkan semangka bila ia mendapatkan titipan benih padi.
Benih padi yang ditanam, tumbuhan padi pula yang tumbuh. Bisakah kita
menerima benih fithrah "anak kita" dan mengembangkannya menjadi
fithrah yang lebih baik? Sebuah hadis menyatakan bahwa setelah
kematian menerpa kita, tak ada yang bisa menolong dari siksa kubur
kecuali doa dari kesalehan sang anak.
Tentu saja, maksud hadis ini bila sang anak, "titipan Allah" itu,
telah kita jaga dan tumbuh tetap berada dalam fitrahnya, maka kita
akan mendapatkan hadiah dari Tuhan karena telah menjaga amanahnya
dengan baik.
Pada hari ini, ada baiknya kita menyempatkan diri untuk mengelus dan
mengecup lembut kening mereka. Kita layak meminta maaf karena selama
ini telah memberikan ruang hidup yang sumpek, penuh keluhan dan
pertengkaran, serta tidak memberikan jaminan-moral. Kita pun layak
memohon ampunan pada Allah karena titipan-Nya belum dirawat secara
baik.
Tersenyumlah, anak-anak menunggu ketulusan kita!***
Penulis, dosen pada Universitas Islam Negeri (UIN) Bandung

Tidak ada komentar: