Selasa, 09 Desember 2008

Presiden Sukarno

pidato Presiden Republik Indonesia yang
ditujukan kepada segenap pemuda-pemudi di
seluruh Indonesia, terutama sekali pemudapemudi sekolah menengah, pada waktu hendak
meletakkan batu-pertama dari pada Gedung
Fakultet Pertanian di Bogor pada tanggal 27
April 1952
dicopy dari Almanak Pertanian 1953 hal: 11 – 20; di-


Saudara-saudara sekalian
Merdeka!
Saya diminta untuk meletakkan batupertama
dari pada Gedung Fakultet Pertanian,
Universitet Indonesia. Permintaan itu, saya
hendak menyampaikan beberapa kata lebih
dahulu.


Dengan sengaja pidato saya ini saya
tuliskan, agar supaya merupakan risalah
yang nanti dapat dibaca dan dibaca lagi dan
dibaca lagi oleh pemuda-pemudi kita bukan
saja dari sekolah tinggi ini, tetapi dari seluruh tanah-air kita. Malah, sekarangpun saya
mengarahkan kata kepada pemuda-pemudi diseluruh Indonesia itulah. Sebab, apa yang
hendak saya katakan itu, adalah amanat penting bagi kita, amat penting – bahkan mengenai
soal mati-hidupnya bangsa kita dikemudian hari. Karena itu, pidato saya ini agak panjang,
dan perletakan batu-pertama dari pada Gedung Fakultet Pertanian tak dapat kulakukan pada
saat yang dirancangkan.
Ya, pidato saya mengenai mati-hidup bangsa kita dikemudian hari, oleh karena soal
yang hendak saya bicarakan itu mengenai soal persedian makanan rakyat. Cukupkah
persediaan makan rakyat kita dikemudian hari? Kalau tidak, bagaimana caranya menambah
persedian makanan rakyat itu? Peristiwa sebagai yang kita hadiri sekarang ini, ialah:
perletakan batu-pertama dari pada suatu sekolah tinggi pertanian, adalah satu kesempatan
yang baik untuk menyampaikan kata-kata langsung kepada pemuda-pemudi kita berkenaan
dengan soal yang amat penting itu, kepada pemuda-pemudi, yang dalam tangan merekalah
mati-hidupnya bangsa kita dikemudian hari.
Pemuda-pemudi! Engkau sekarang hidup dalam satu jaman yang penuh dengan soalsoal,
satu jaman yang penuh dengan problem. Salah satu dari pada problem-problem makanan
rakyat. Engkau telah mengalami sendiri: di waktu yang akhir-akhir ini surat-kabar surar-kabar dan tuturan-tuturan di kampung-kampung penuh dengan kata-kata: “harga beras naik gilagilaan”,
“disana-sini ada mengancam bahaya kelaparan”, “di desa ini dan di desa itu ada
orang makan bonggol pisang”, “di daerah itu dan di daerah sana ada terdapat hongeroedeem”,
“di dukuh anu ada orang bunuh diri karena tak mampu memberi makanan kepada anakisterinya”,
dan lain-lain tuturan sebagainya lagi. Dan sebagaimana biasa, selalu ada saja
seorang yang dikambing-hitamkan, yang harus memikul segala kesalahan, atau segerombolan
orang-orang yang dikambing-hitamkan karena disangka telah berbuat segala kesalahan.
Terutama sekali orang-orang yang duduk dalam badan-badan pemerintahan harus bersedia
menjadi kambing-hitam itu, yang kepalanya diturunkan segala hujan-hujan tuduhan yang
segar-segar, yakni harus bersedia dijadikan orang yang selalu dihantam, yang kepalanya
seperti “kop van jut”.
Siapa yang sebenarnya salah? Untuk menjawab pertanyaan ini, marilah kita
selidiki beberapa kenyataan yang mengenai persediaan beras. Menurut statistik 1940,
bangsa kita didalam satu itu rata-rata, dus tiap-tiap orang, memakan 86 kg beras. Ini
belum terhitung jagung, belum terhitung ubi kayu, ubi jalar, kacang-kacangan, dan
lain-lain sebagainya lagi!
Kalau kita memakai angka tahun 1940 itu sebagai dasar, berapa beraskah yang
kita butuhkan untuk sekarang? Sekarang dijumlahkan rakyat kita ialah 75.000.000
jiwa. Maka beras yang kita butuhkan untuk memberi tiap-tiap orang 86 kg beras
setahun ialah : 75.000.000 × 86 kg == 6.450.000.000 kg , atau dengan sebutan lain :
6,45 milyun ton. Yang kita butuhkan. Sekali lagi: yang kita butuhkan, sekarang.
Tetapi: Berapa persediaan beras kita sekarang? Artinya: Berapa jumlah produksinya
sawah-sawah kita, ladang-ladang kita? Jumlah produksi sawah-sawah kita dan ladangladang
kita, kalau dibandingkan dengan tahun 1940, tidak mundur, tetapi jumlah itu
toh tidak mencukupi kebutuhan: hasil padi kita setahunnya sekarang hanya 5.5
milyun ton lebih sedikit. Padahal kebutuhan hampir 6.5 milyun ton! itulah sebabnya
kita kekurangan beras. Itulah sebabnya kita tiap2 tahun harus membeli beras dari luar.
Dari Siam, dari Saigon, dari Burma. Ini tahun saja kita harus mencari beras 700.000
ton, atau 700.000.000 kg. Dan ketekoran kita makin lama makin bertambah.
Engkau mengetahui: bangsa kita selalu bertambah jumlah. Ditahun-tahun yang
akhir ini ditanah-air kita tiap-tiap tahunnya dilahirkan bayi 2.000.000 orang, dan
ditiap-tiap tahunnya meninggal dunia 1.200.000 orang. Ini berarti Indonesia
bertambah penduduk tiap-tiap tahun 800.000 orang. Sekarang! Tidak lama lagi
tambahnya penduduk Indonesia tiap tahunnya bukan 800.000 orang, tetapi 1.000.000
orang. Dan tidak lama lagi 1.000.000 orang ini menjadi 1¼ milyun orang, 1½ milyun
orang, 1¾ milyun orang, 2 milyun orang! Tambahnya penduduk amat cepat, tetapi
tambahnya produksi beras amat pelan. Maka tiap-tiap tahun, met de regelmaat van
een klok, tiap-tiap tahun, zonder ampun, tiap-tiap tahun, mau tidak mau, mengaduh
atau tidak mengaduh, kita menghadapi problem kekurangan beras : sekarang 700.000
ton, besok 800.000 ton, besok lagi 900.000 ton, besok lagi 1.000.000 ton !
Itupun kalau kita setiap orangnya makan sekadar sebanyak makanan kita
sekarang, dan tidak lebih. Padahal, sudah cukupkah makanan kita sekarang ini per
orangnya, untuk bisa menjadi satu bangsa yang sehat dan kuat?
Mari saya ambil angka-angka tahun 1940. Didalam tahun itu jumlah makanan di
Indonesia, kalau dibagi rata-rata antara rakyatnya, menjadi: 86 kg beras, jagung 162
kg, ubi kayu 30 kg, ubi jalar. Bilamana angka-angka ini diperhitungkan dalam nilai
kalori, maka jumlah kalori yang dimakan oleh satu orang setahun ialah 624.960, atau
1712 kalori seorang sehari. Dus kalau kita sudah senang dengan 1712 (bundarnya
1700) kalori seorang sehari saja, kita sudah menghadapi tekort beras tiap-tiap tahun
sekarang 700.000 ton, nanti 800.000 ton, nanti lagi 1.000.000 ton!
Sudahkah kita senang dengan 1700 kalori seorang sehari sebagai dalam tahun
1940 itu? Kemarin dulu aku suruh menanya kepada Dr. Purwosudarmo, sekretaris
Panitia Negara Perbaikan Makanan, dan kalori dimakan oleh bangsa Indonesia
seorang sehari sekarang, dan berapa kalori seharusnya untuk menjadi satu bangsa
yang sehat dan kuat. Beliau menjawab: 1850 kalori seorang sehari sekarang, dan
harus dijadikan 2250 kalori seorang sehari di kemudian hari. Maka aku mulai
menghitung. Tidak lama 8 tahun itu, yaitu sekadar satu jumlah tahun yang engkau
butuhkan untuk menjadi pemuka-pemuka praktis dalam masyarakat. 1960! Aku taksir
jumlah penduduk Indonesia pada waktu itu ±83.000.000 jiwa, yaitu 8.000.000 lebih
dari pada sekarang. 8.000.000 orang ini harus juga kita beri makan 624.960 kalori,
yaitu 1712 kalori satu orang sehari. Kalau banyaknya kalori buat satu orang satu tahun
kita biarkan sekian saja, yaitu 624.960 tidak kita tambah, maka buat 8.000.000 orang
itu harus kita adakan persediaan kalori 8.000.000 × 624.960 kalori =
±5.000.000.000.000 kalori. Beberapa beraskah ini? Ketahuilah: 100 gram beras
merupakan 340 kalori. Maka kalau engkau hitung, engkau akan mendapat: 5.000.000
milyun kalori itu berarti ± 1.5000.000 milyun gram beras, atau ± 1.500 milyun kg
beras, atau ± 1.5 milyun ton beras.
Coba pikirkan:
Sekarang saja sudah tekort 0,7 milyun ton beras. Didalam tahun 1960 akan
tekort 0,7 milyun ton beras + 1,5 milyun ton beras = 2,2 milyun ton beras! Itupun:
kalau kalori makanan rakyat kita perbiarkan pada 1712 kalori seorang sehari! Panitia
Negara Perbaikan Makanan minta 2250 kalori seorang sehari! Engkau barangkali
ingin mengetahui angka-angka kalori makanan rakyat di negeri-negeri lain?
Perhatikan! Menurut perhitungan Food and Agriculture Organisation, orang makan
tiap hari: di India 2121 kalori – di Burma 2348 kalori – di Cuba 2918 kalori – di
Malaya 2337 kalori – di Ceylon 2167 kalori – di Indo China 2127 kalori, semuanya
lebih banyak dari pada Indonesia! Didalam angka-angka itu dimasukkan juga kalori
dari bahan-bahan gajih. Berapa kalori yang dimakan orang kulit putih? Di negeri
Belanda setiap hari orang makan 2958 kalori, di Australia 3128 kalori, di Amerika
3249 kalori!
Pemuda-pemudi Indonesia, apakah perbiarkan bangsamu hidup dari ±1700
kalori seorang sehari? Tidak? Engkau ingin cita2 Panitia Negara Perbaikan Makanan
terlaksana! Dus 2250 kalori seorang sehari? Hitunglah sendiri, kalau begitu, berapa
jumlah beras kita harus tambahkan kepada persediaan makanan rakyat, buat tahun
1960, yang berpenduduk 83.000.000 jiwa itu! Mari kita hitung:
2250 kalori seorang sehari, dus 550 kalori lebih dari pada sekarang.
Buat 75.000.000 penduduk yang sekarang sudah ada itu saja, ini berarti minta
tambahan kalori: 75 milyun × 550 × 365 (1 tahun = 365 hari) = ± 15.000.000 milyun
kalori. Dan buat 8 milyun penduduk yang bertambah itu, dibutuhkan:8 milyun × 2250
× 365 = ± 6.500.000 milyun kalori + 6.500.000 milyun kalori = 21.500.000 milyun
kalori. Dihitung dalam beras – 100 gram beras = 340 kalori – ini berarti 100/340 ×
21.500.000 milyun gram beras = 6.300.000 milyun gram = 6,3 milyun ton. Menjadi:
kalau kita mengingini bangsa kita dalam tahun 1960 makan 2250 kalori seorang
sehari, maka produksi makanan kita harus kita tambah dengan 6,3 milyun ton
setahun, dalam bentuk beras, atau aequivalentnya beras. Bagaimana kalau kita
beri bentuk lain dari pada beras? Malah lebih lagi dari 6,3 milyun ton! Dalam bentuk
jagung 6,3 milyun ton itu menjadi ± 7 milyun ton. Dalam bentuk ubi jalar ± 15 milyun
ton. Dan dalam bentuk ubi kayupun ± 15 milyun ton!
Dan kalau tidak kita tambah produksi? Kalau tidak kita tambah produksi, maka
tiap – tiap orang hanya akan makan ± 1547 kalori saja. Maka banyak orang akan
kelaparan. Maka keadaan kita akan makin kocar – kacir. Maka kejadian2 yang
menyedihkan yang telah kita alami sekarang ini akan terjadi terus – terusan secara
permanent, bahkan permanent in het kwadraat dan menyedihakan in het kwadraat:
hongeroedeem akan terdapat dimana – mana; penyakit2 lain akan menjalar karena
badan lemah kekurangan resistensi: keamanan akan terganggu terus – menerus tidak
putusnya; orang akan bunuh – membunuh perkara beras; prestasi kerja akan merosot
serendah – rendahnya mala petaka kebinasaan akan menjadi hantu yang bersinggah di
milyunan rumah.
Mengertikah engkau bahwa kita sekarang ini menghadapi satu bayangan hari
kemudian yang amat ngeri, bahkan satu todongan pistol “mau hidup atau kah mau
mati”, satu tekanan tugas “to be or not to be”? didalam tahun 1960 nanti tekort kita
sudah akan 6,3 milyun ton,- berapa milyun ton nanti dalam tahun 1970 kalau
penduduk kita sudah menjadi 90 – 95 milyun dan berapa lagi dalam tahun 1980 kalau
penduduk kita lebih dari 100 milyun? Engkau, pemuda – pemudi, engkau terutama
harus menjawab pertanyaan itu, sebab hari kemudian adalah harimu, alam kemudian
adalah alammu,- bukan alam kami kaum tua yang vroeg of laat akan di panggil pulang
kerakhmattullah. Engkau tidak dapat memecahkan soal ini sekadar dengan sikap
cynisme, seperti sikapnya setengah pemimpin – pemimpin diwaktu sekarang, yang
hanya bisa menuduh, hanya bisa mencela, hanya bisa mencari dan mendapatkan orang
– orang yang dicapnya, kambing hitam, dan dititiri kepalanya sebagai kop van jut.
Tidak, soal makanan rakyat ini tidak dapat dipecahkan dengan cynisme, dengan
sekadar menuduh, dengan sekadar mencemooh. Sebab kesulitan soal ini terletak
obyektif kepada ketidak-seimbangan antara produksi dan konsumsi, antara
persediaan yang ada dan jumlah mulut yang memakannya, dan tidak subyektif
karena durhakanya sesuatu orang. Tiap tahun, zonder kecuali, zonder pauze, zonder
ampun, soal beras ini akan datang – dan akan datang crescendo – makin lama makin
hebat – makin lama makin sengit – makin lama makin ngeri – selama tambahnya
penduduk yang cepat itu tidak kita imbangi dengan tambahnya persediaan bahan
makanan yang cepat pula!
Maka, pemuda-pemudi, dapatkah persediaan bahan makanan itu kita tambah?
Persediaan bahan makanan itu dapat kita tambah! Tetapi tidak sekadar dengan
cynisme, tidak sekadar dengan “main politik”, melainkan dengan bekerja keras atas
dasar mengerti jalan – jalannya memecahkan problem yang sulit ini. Persediaan bahan
makanan itu dapat kita tambah:
Pertama : dengan berikhtiar memperluas daerah pertanian kita.
Kedua : dengan menggiatkan (mengintensivir) usaha pertanian kita, khusus
dengan seleksi dan pemupukan. Dua jalan ini harus kita tempuh! Marilah kita kupas
sekadarnya :

Kemungkinan memperluas daerah pertanian kita – artinya: menambah luasnya
sawah-sawah kita dan ladang-ladang kita, masih mungkin, tetapi janganlah orang kira
kemungkianan itu tiada batasnya. Di Jawa kemungkinan itu hampir tidak ada lagi.
Di Sumatera, di Kalimantan, di Sulawesi, di Seram, dan lain-lain pulau lagi,
kemungkinan itu masih ada tetapi janganlah orang mengira bahwa tiap tempat yang
sekarang tertutup hutan, atau tiap tempat yang masih kosong, adalah baik buat
pertanian. Ya, Sumatera dan Kalimantan penuh dengan rimba-rimba raya yang
luasnya “pitung pandeleng”, tetapi hanya sebagian saja dari rimba-rimba itu tanahnya
baik buat bercocok tanam. Penyelidikan “balai penyelidikan tanah (bodemkundig
instituut) sementara menunjukan angka-angka sebagai berikut :

Luas Sumatera ………………………………………… 47.360.000 ha

Luas Kalimantan kita ...………………….…………….. 53.950.000 ha

Luas Sulawesi ………………………………………… 18.900.000 ha

Luas Irian kita ………………………………………… 38.000.000 ha

---------------------

Jumlah luas empat pulau ini ………………………… 158.210.000 ha

Berapa ha dari 150.000.000 ini yang baik buat pertanian? Ternyata sebagian dari
tanah itu, dengan pandangan selanyang-pandang saja, terang tidak memberi harapan
baik buat pertanian ialah, oleh karena kwalitet tanahnya bentuk topografinya,
(keadaan airnya) tidak sesuai dengan syarat-syaratnya pertanian. Maka dengan
mengecualikan tanah-tanah yang selanyang-pandang saja sudah nyata tidak baik buat
pertanian itu, telah dipetakanlah atau sekadar di tinjau sejumlah tanah di Sumatera
5.359.000 ha, di Kalimantan kita 740.000 ha, Sulawesi 669.000 ha, di Irian kita
965.000 ha, total 7.733.000 ha, tetapi dari 7.733.000 ha inipun ternyata tidak semua
betul-betul baik bagi pertanian. Yang betul-betul baik ternyata hanyalah sedikit lebih dari 1.000.000 ha, atau hanya 14%.
Memang ada lagi disamping tanah-tanah tersebut, sejumlah tanah gambut
(veengronden) yang luasnya bermilyun-milyun ha, yang sampai kini belum
diusahakan untuk pertanian dan mungkin dapat dipakai untuk pertanian, tetapi di
Indonesia tanah-tanah itu masih sama sekali satu hal yang belum di selidiki
kemungkinan-kemungkinannya, satu “terra incognita” yang masih gelap bagi kita,
meskipun di Amerika dan Eropah orang sudah mencapai hasil pertanian yang baik
diatas tanah-tanah yang demikian itu.
Alhasil: luasnya daerah pertanian di Indonesia ini masih dapat lagi dengan
sedikitnya 1 milyun ha, kalau tidak 1½ milyun ha, atau baranghkali 2 milyun ha.
Tanah-tanah di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi dan Irian itu memang menunggu
transmigran-transmigran kita, menunggu pacul dan bajak, tractor-tractor dan mesinmesin
pengetam padi, menunggu pekerja-pekerja, yang dibawah pimpinan pemuda-
pemudi kita, bersama-sama dengan mereka membanting tulang dan mengulurkan urat,
mencucurkan keringat habis- habisan sesuai dengan firman Allah “inamaal usri
yusra”, - “in het zweet uws aanscijns zult gij uw brood verdienen”
Kecuali dengan memperluas daerah pertanian kita, maka sebagai kukatakan tadi,
harus ditempuh pula jalan lain untuk menambah persediaan makanan kita.
Jalan lain itu ialah mengintensivir usaha pertanian kita, khusus dengan seleksi
dan pemupukan. Jalan lain itu malahan harus kita usahakan pula bener-bener. Oleh
karena kemungkinan untuk menambah luasnya daerah Sawah kita – perhatikan:
Sawah, artinya Sawah basah – adalah terbatas sekali. Sawah berarti Air, dan air
memang tidak selalu ada untuk pengairan yang sempurna. Luas sawah di Indonesia
sekarang ini adalah + 4½ milyun ha, antaranya 3.384.000 ha di Pulau Jawa. Di Jawa
diantara tahun 1931 dan 1940 luasnya sawah hanyalah bertambah dengan 100.000 ha
atau tak lebuih dari 3%, dan saya kira maximumnya, memang sudah hampir tercapai.
Mengintensivir pertanian kita, itulah amat penting. Perhatikan misalnya hasil
baik yang kita capai dengan usaha seleksi dilapangan padi basah. Dulu kita belum
kenal dengan jenis padi basah yang sekarang kita namakan Bengawan. Tetapi berkat
usaha Ilmu Pertanian, dengan jalan kawin-mengawinkan bermacam-macam jenis,
akhinya terdapatlah satu jenis yang dinamakan padi Bengawan, yang betul-betul padi
yang “allround”: ia kebal terhadap penyakit mentek, ia punya kwalitet beras adalah
baik, ia punya nasi enak sekali rasanya dimakan, ia punya jumlah produksi lebih
tinggi daripada padi yang kita kenal sebelum itu. Ia memberikan hasil-tambah rata-
rata 8 quintal padi se-ha-nya, atau 4½ quintal beras se-ha-nya. Berapa luasnya sawah
yang sudah nyata dapat ditanami dengan padi Bengawan itu? Jumlah ini menurut
penyelidikan ialah 1.000.000 ha yang dapat ditanami dengan satu jenis lain, yang juga
banyak produksinya, meskipun tidak sebanyak padi Begawan itu. Maka menurut
perhitungan, cara menanam padi hasil seleksi itu saja kita dapat memperoleh
tambahan 1.080.000 ton padi, atau 600.000 ton beras satu jumlah yang amat lumayan
sekali. Tetapi kenyataan yang menjadi hambatan ialah, bahwa pada umumnya sesuatu
jenis padi mempunyai daya menyusuaikan diri yang amat kecil, mepunyai
aanpassingsvermogen yang amat kecil. Jenis padi yang memuaskan di sesuatu daerah,
belum tentu memuaskan bila ditanam di suatu daerah yang lain. Jenis padi harus diperdaerahkan
lebih dulu. Sebelum padi Bengsawan itu bisa disiarkan di seluruh
kepulauan Indonesia, maka perlulah lebih dulu Balai-balai seleksi daerah diberpuluhpuluh
tempat. Dan disamping pusat-pusat penyelidikan daerah itu, maka haruslah pula
diadakan Organisasi untuk menyebarkan hasil-hasil dari pusat-pusat penyelidikan
daerah itu langsung kepada petani-petani. Dibutuhkanlah pusat-pusat Bibit setempat,
zaad hoeve-zaadhoeve yang masing-masing meliputi keluasan 10.000 ha atau
15.000.ha sawah. Petani-petani harus dibangunkan perhatianya oleh pusat-pusat ini,
harus diinsafkan, di-“semangatkan” dengan propaganda, dengan penyuluh, dengan
Demonstrasi, petani-petani harus dilepaskan dari jenis-jenis padi yang kurang
manfaat, dibawa kepada jenis-jenis baru yang lebih manfaat, dibawa kepada jenisjenis
baru yang lebih baik. Ini semuanya bukan pekerjaan kecil. Ini semuanya
meminta waktu dan ini semuanya meminta keringat. Jumlah pusat-pusat yang
demikian itu pada masa sekarang ini masih amat terbatas sekali, padahal paling
sedikitnya dibutuhkan 250 pusat- setempat, kalau bisa 300 pusat setempat.
Kalau kita bekerja keras, maka boleh diharapkan bahwa dalam waktu ± 6 tahun,
dengan jalan demikian, sesuatu jenis yang baik dapat disebarkan antara petani-petani
diseluruh Indonesia, sehingga produksi padi diseluruh Indonesia bertambah banyak.
Insafkah engkau Pemuda-pemudi, betapa pentingya minat kepada pengetahuanpertanian
bagi bangsa yang kekurangan makanan sebagai kita ini?
Disamping seleksi, aku tadi menyebutkan pemupukan. Juga dengan Pemupukan
kita dapat menambah produksinya Padi-padi basah kita, terutama sekali pemupukan
dengan pupuk-tiruan (Kunstmest) fosfat, dalam bentuk dubbel Superfosfat atau enkel
Superfosfat, ternyatalah amat menaikkan tingkat Produksi. Ada sawah yang dengan
pupuk fosfat itu bertambah hasil 5 quintal se-ha, bahkan ada yang memberikan hasil
tambah 10 quintal se-ha. kita sekarang telah mengetahui, bahwa luasnya daerah
sawah-sawah kita amat "dankbar" kepada pupuk dubbel Superfosfat adalah beratusratus
ribu ha sawah seperti misalnya daerah-daerah tuf atau margel atau laterit di
Banten Utara, Jakarta Barat, daerah Cihea antara Cianjur dan Bandung, daerah
Cirebon Timur, Cirebon Barat, Jogya Barat, Solo Timur Laut, Madiun Utara, Kediri
Utara, Pasuruan Bangil, daerah Purwodadi, Lusi – Randublatung, Bojonegoro,
Lamongan, Madura, daerah Rapang di Sulawesi Selatan, daerah Bone dan Sulawesi
Tengah, dan banyak lagi daerah-daerah lain, yang semua total jumlahnya tak kurang
dari 700.000 ha sawah, yang, jikalau kita bekerja mati-matian memupuknya, dengan
pupuk- tiruan fosfat, total akan memberi hasil tambah tidak kurang dari 360.000 ton
beras tiap-tiap tahunnya. Tetapi pemupukan itupun belum berjalan sebagaimana
mestinya.
Dus: Dengan menanam jenis padi yang lebih manfaat,hasil- seleksi, kita dapat
memperoleh hasil-tambah 600.000 ton beras; dengan pemupukan sawah-sawah
margel atau tuf atau laterit dengan pupuk fosfat kita dapat memperoleh hasil-tambah
360.000 ton. Jumlah total: 960.000 ton, atau bulatnya 1 milyun ton. Sedangkan jumlah
tambahan beras yang kita butuhkan untuk menyelamatkan 83.000.000 orang dalam
tahun 1960 dengan dasar 1700 kalori seorang sehari saja ialah, sebagai kuuraikan
dimuka tadi itu, 1½ milyun ton, dus masih kekurangan lagi 1/2 milyun ton. Dan
jikalau kita masih brrcita-cita menaikkan arbiedsprestatie rakyat kita dengan
memberikan makanan kepadanya 2250 kalori seorang sehari, maka ketekoran kita itu
malah masih 6,3 milyun ton satu milyun ton = 5,3 milyun ton!
Dari uraian saya diatas ini ternyatalah, bahwa tidak ada, Way Out mutlak untuk
menyelamatkan rakyat Indonesia dari bahaya kelaparan dan bahaya kemusnahan,
bilamana kita hanya menempuh jalan yang pada masa sekarang ini lazim diusahakan,
yakni hanya jalan seleksi dan hanya jalan pemupukan bagi sawah-sawah yang sudah
ada, dan ikhtiar memperluas daerah pertanian berupa sawah, yang sebagai ternyata
dimuka tadi, tidak mungkin kita perluaskan lagi secara besar-besaran. Tidak, kita
harus menempuh jalan lain juga, jalan yang hingga kini masih dianak tirikan, yakni
jalan mencurahkan perhatian kita juga pada pertanian di tanah kering, di tanah
ladang. pertanian pada tanah sawah memang masih penting bagi kita, tetapi jelaslah
bahwa pertanian disawah itu saja, tidak memberikan Way Out mutlak kepada kita.
Kita harus mencurahkan perhatian kita secara simultan ya kesawah ya keladang. kita
harus belajar tidak memandang remeh kepada ladang. Kita harus berubah menjadi
satu bangsa yang baru, juga diatas lapang pertanian. Kita harus, mau tidak mau,
menempuh jalan yang diseluruh dunia ditempuh orang Eropah dan Amerika hidup di
pertanian kering, kenapa kita tidak memperhatikan pula pertanian kering, kita yang
kini mengetahui bahwa pertanian padi basah saja tidak memberi Way Out mutlak.
Ketahuilah, bahwa pertanian rakyat ditanah kering lebih luas dari pada pertanian
disawah-sawah. Ini bukan saja satu kenyataan yang didapatkan di luar Jawa, tetapi
juga satu kenyataan di Jawa sendiri, yang telah penuh-sesak-padat penduduknya itu.
Sedangkan di Jawa luasnya sawah ± 3.384.000 ha, maka luasnya tanah kering yang
diusahakankan untuk pertanian adalah ± 4.500.000 ha. Diluar Jawa, luasnya Pertanian
tanah kering adalah ± 3.500.000 ha. Total tanah Pertanian kering Diseluruh Indonesia
adalah ± 8.000.000 ha .
Alangkah besarnya persediaan makanan kita, kalau 8.000.000 ha ini dapat kita
berikan produksi yang lebih tinggi! Disini ditanah-tanah kering inilah ,letaknya “Way
Out” mutlak yang kita cari! Tetapi apa lacur? Satu corak yang mencirikan pertanian
diladang ialah , bahwa oleh pengusahanya sama sekali tidak dilakukan syarat-syarat
untuk mempertahankan kesuburan tanah. Satu-satunya usaha menyuburkan tanah
ialah terdiri dari menanduskan (memberokan ) tanah itu beberapa tahun lamanya
sehingga tanah-kering tersebut ditumbuhi lagilah oleh belukar atau hutan ringan, yang
kemudian ditebang pula untuk diperladang. Ketambahan lagi tanah-tanah kering itu
tidak saja kehilangan kesuburanya, tetapi diduga diserang oleh, bahaya erosi, sehingga
pada akhirnya daerah demikian itu merupakan satu Tanah mati, satu “stervend land”
yang menyedihkan sekali.
Cara pertanian yang demikian itu tak dapat dipertanggung-jawabkan lagi! Caracaranya
harus diubah demikian rupa, sehingga kehilangan zat-zat tanah yang perlu
buat tanaman dapat dihentikan, dan tubuh tanah dipelihara, sehingga kesuburan
pulang kembali. Jangan menganggap remeh hal ini! Sebab, bilamana kita tidak dapat
mengembalikan kesuburan tanah-tanah ladang ini sehingga dapat ditanami lagi
dengan tanaman-tanaman makanan secara manfaat, bilamana kita perbiarkan stervend
land tetap stervend land, dan ladang-ladang stervend land, maka perlengkapan bahan
makanan bangsa kita niscaya akan roboh sama sekali, akan lebur, akan hancur, ialah
oleh karena “way out mutlak” kita dalam persediaan makanan rakyat adalah justru
terletak dalam tanah-tanah kering itu .
Dapatkah tanah kering menjadi sumber kemanfaatan? Dapat, pemudapemudiku,
dapat!
Asal kita, terutama sekali kamu, generasi muda, suka “Aanpakken” soal ini
dengan tetep, maka kita tak perlu berkecil hati! Kemungkinan dalam teknis dan ilmu
pertaniankan telah besar sekali! Tiga puluh tahun yang lalu, propinsi Noord Brabant
dan Valuwe di negri belanda yang tanahnya pasir yang amat miskin itu, hanyalah
dapat menghasilkan sedikit boekweit dan kentang dan rogge. Hanya biri-biri kurus
saja diternakan disana dalam jumlah yang kecil-kecil. Sekarang berkat teknik
pertanian tanahnya tak kurang suburnya. Semua tanaman dapat dihasilkan di situ,
Bunga-bunga yang indah menyegarkan mata, sapi-sapi yang segemuk sapi Friesland
terdapat disana dalam jumlah yang besar-besar. Ini semua hasil penyelidikan yang
dilakukan oleh pelbagai balai-penyelidikan dalam waktu 10-15 tahun. Berkat rajinnya
anak-negerinya, Berkat tepatnya cara pengolahan tanah, berkat pemakaian pupuktiruan
secara besar-besaran, maka mereka dapat mengatasi kesukaran-kesukaran
dalam menyelamatkan dirinya dari bahaya kelaparan.
Mengapa kita di Indonesia tidak nanti dapat bertindak sedemikian juga? Kita
dapat bertindak sedemikian juga,dapat, dan aku tidak ragu-ragu akan hal itu, asal
kamu, generasi muda, suka bertindak, asal kamu suka belajar, asal kamu nanti suka
menjadi pelopor .
Pertanian tanah-kering kita ini dapat kita bikin menjadi sungguh-sungguh
manfaat, dengan melakukan empat ikhtiar yang kusebutkan dibawah ini:
Pertama: Kita harus melakukan pemupukan. Tanah-tanah-ladang kita harus
dipupuk, baik dengan pupuk kandang, maupun dengan pupuk tiruan. Pupuk kandang
dibutuhkan, bukan saja oleh karena pupuk inilah yang termurah bagi petani, tetapi
juga oleh pupuk kandang dapat memperbaiki struktur tubuh-tanah. Kalau pupuk ini
masih kurang, tambahkan denga pupuk hijau. Dan kalau inipun masih kurang,
pakailah pupuk tiruan. Jangan berkata bahwa pupuk tiruan mahal! Satu-satunya “way
out” inikan harus kita tempuh, kalau kita sebagai bangsa tidak mau mati. Lagi pula-
semua pupuk-pupuk- tiruan yang di perlukan untuk tanah-tanah kering kita itu, yaitu
pada umumnya: Zwavelzure ammonia, kaliumsulfat, dan dubbel suferfosfat, dapat
dibikin di negeri kita sendiri dari bahan-bahan yang ada di negeri kita sendiri. Ini
sudah kita selidiki. Maka kalau kita membikin pupuk-pupuk itu di negeri kita sendiri
tak perlu kita membelinya dari luar negeri. Tak perlu kita tergantung dari keadaan
deviezen lagi. Tak perlu kita tergantung dari keadaan politik di negara orang. Dan kita
lantas dapat menjalankan Pemupukan tanah-tanah-kering kita secara besar-besaran.
Ratusan ribu ha, Milyun-milyunan ha tanah kering menjadi tanah yang menghasilkan
produksi. Hancur-leburlah hantu kemiskinan zat dalam tanah-tanah kering kita itu!
Kedua: kita harus menjalankan seleksi, khusus bagi tanah kering, alangkah
masih kosongnya Usaha seleksi bagi tanah-kering itu! Tentang seleksi padi-gogo
dapat dikemukakan, bahwa hal itu kini selalu diabaikan, selalu dianak-tirikan. Semua
tenaga sampai kini dicurahkan kepada seleksi pada sawah, padi basah. Walaupun
barangkali tidak mungkin menciptakan satu jenis pada gogo baru yang sama sekali
tanah kemarau, yaitu sama sekali droogteresistent, namun toh kemungkinan untuk
mendapatkan satu jenis-baru yang mendekati kebutuhan ini, tidak masuk dalam
lapangan kemustahilan. Dan selain dari pada padi? Jenis kedele, jenis kacang tanah,
jenis jagung, jenis canthel dan tanaman lain yang bermanfaat bagi hidupnja rakyat,
pun masih mengandung kemungkinan untuk diperbaiki lagi dengan jalan seleksi.
Tanah-kering harus di tanami dengan tanaman yang tahan kering, dan nilai-khasiatnya
harus dibuat sederajat dengan nilai-khasiat padi, misalnya jagung, jawawut, kedele,
kacang tanah, dan lain-lain sebagainya lagi. Penggiatan seleksi bagi tanaman-tanaman
tahan-kering ini teranglah satu keharusan yang harus lekas kita penuhi !
Ketiga: kita harus Memperlipatgandakan Perhewanan ternak. Perternakan
adalah satu syarat mutlak untuk pertanian di tanah kering. Dari mana datangnya
pupuk kandang, kalau tidak dari ternak? Dari mana tenaga-tenaga penarik –
trekkrachten – Untuk perusahaan Pertanian itu, kalau tidak dari sapi atau kuda?
Kecual itu, adanya ternak memecahkan soal lalu-lintas, sehingga soal
penggangkutpun ikut terkupas oleh karenanya pula, dan terutama kuda
mendinamiskan manusia! Belum kita sebut disini manfaat besar yang datang dari
perternakan berkenan dengan kebutuhan zat putih-telur (eiwit) dalam makanan rakyat!
Telur ayam, telur itik, daging ayam, daging itik, daging kambing, daging sapi, dan
lain-lain sebagainya, membuat tubuh manusia menjadi sehat dan kuat. Didalam
pemakaian zat putih-telur yang berasal dari hewan, Indonesia menduduki satu tempat
yang teramat rendah. Hanya rata-rata 4 gram kita makan seorang sehari! Sedangkan di
Siam orang makan zat putih-telur 21 gram seorang sehari di Malaya 14 gram seorang
sehari, di Indo China 17 gram seorang sehari, di India 9 gram seorang sehari, di
Filipina 25 gram seorang sehari, di Cuba 29 gram seorang sehari, di Burma 32 gram
seorang sehari. Sejak penjajahan Belanda yang beratus-ratus tahun itu, kita telah
menjadi satu bangsa yang selalu sedikit makan zat putih dari hewan dan karenanya
kita telah mejadi stau bangsa yang lemah badan dan kurang dinamis. Di jamannya
Sultan Agung Hanyokrokusumo, maka menurut ceritanya Riycklof van Goes, seorang
Belanda yang menghadap di Keraton Sultan Agung di Kerta, di Ibukota Mataram itu
tiap hari disembelih orang 500 ternak yang besar-besar. Dan lihatlah dalam sejarah:
Pada waktu itu bangsa kita satu bangsa yang dinamis yang tangkas, yang ulet, yang
berani, yang gemar bekerja.
Keempat : Mekanisasi. Ini salah satu yang telah lama kucitakan dan idamidamkan.
Pada umumnya luasnya pertanian di Jawa tidak melebihi 1 ha buat tiap-tiap
petani, dan 1 ha ini adalah terlalu sedikit, terlalu banyak untuk mati “Te weinig om
van televen, te veel om van te sterven”. Didaerah Kolonisasi di luar Jawa pun petani
rata-rata hanya mempunyai sawah tidak lebih dari 1½ a 2 ha. Berapa sebenarnya
harusnya milik tanah untuk hidup cukup, hidup sentausa? Kalau tanah itu cukup
subur, seperti halnya dengan tanah-tanah yang sekarang didapatkan di luar Jawa,
maka milik itu sebenarnya harus sedikitnya 10 ha buat tiap-tiap petani. Tetapi
sebaliknya, kalau ia diberi 10 ha, maka ia tak mempunyai cukup tenaga untuk
mengelola tanahnya itu. Dengan sepasang sapi dan dengan bantuann anak istrinya
serta seorang bujang, ia paling banyak dapat menggarap 5 ha tanah. Di Limburg
(Negeri Belanda) Petani rata-rata mempunyai 20 ha, yang ia kerjakan dengan
keluarganya serta seekor kuda besar, dan di samping itu ia mempunyai 2-3 ekor sapi,
3-4 ekor babi, 100 ekor ayam. Bagaimanakah kita memecahkan soal kita ini, kalau
kita mengingati, bahwa kita kekurangan sapi, kekurangan kerbau, kekurangan kuda?
Tidakkah mungkin mekanisasi – kalau mungkin secara kollektif – membawa
pemecahan dalam soal ini?
Untuk mencoba pertanian secara mekanis, didaerah Kendari (Sulawesi) ada
siap-sedia 15.000 ha tanah kering yang datar dengan struktur tanah yang cukup enteng
untuk digarap dengan mesin. Pembahagian hujan seluruh tahun disana adalah
demikian ratanya, sehingga dua kali setahun daerah itu dapat menghasilkan panen
padi-gogo yang lumayan. Tidakkah baik kita coba Pertanian mekanis disana itu?
Pemuda-pemudi, akupun sering melayangkan angan-anganku mengenai
pertanian di tanah Jawa. Bilakah seorang pemuda atau pemudi Indonesia ahli ilmu
pertanian mendapatkan satu Jenis padi kering – padi kering, bukan padi basah, yang
rasa nasinya tidak kurang lezat dari misalnya padi Bengawan yang kebal segala
penyakit, yang dapat memberi panen dua kali setahun? Ah, kalau Jenis padi-kering
yang demikian itu terdapat, kalau impedance ini terwujud, kalau segala padi basah
bisa kita ganti dengan padi-kering yang all-round itu, satu revolusi besar dapat kita
jalankan di lapangan pertanian padi! Kita bisa bikin petani – petani kita “collective
minded”, kita bisa buang segala pematang – pematang atau galangan – galangan, kita
coret sebagian terbesar dari pengeluaran-pengeluaran untuk irigasi yang berpuluhpuluh
milyun, kita bisa bekerja dengan tractor-tractor dan mesin-mesin pengetam kita
bisa bekerja chemis besar-besaran, kita bisa pergunakan tenaga petani yang berlebih
untuk kerajinan-tangan atau nijverheid, kita bisa lemparkan banyak sekali tenaga kerja
kedalam industriliasasi di daerah-daerah kita yang harus di industrialisir! Betapa
hebatnya akibat revolusi pembangun yang demikian itu! Produksi bahan makanan
akan terbang naik keatas, nijverheid akan tumbuh dimana-mana, industrialisasi akan
tidak kekurangan tenaga manusai, dan mental, dalam kedudukan jiwa, bangsa
Indonesia akan berubah, akan bangkit sama sekali! Hilanglah nanti segala sifat
kepelanan, hilanglah segala sifat tak berdaya yang menghinggapi petani-kecil,
hilanglah segala kemak-kemikan japa-mantra dan kukus kemenyan dan sesajen,
hilanglah segala sifat jiwa kepedesaan, tumbuhlah jiwa kebrayaan dan kerayaan yang
luas, tumbulah jiwa natie yang lebar tumbulah jiwa Negara yang melangkahi segala
batas-batasnya desa dan lembah dan gunung dan lautan. Terbangunlah satu bangsa
Indonesia baru yang badanya sehat-kuat karena cukup persediaan makan, yang
jiwanya dinamis – tangkas – perkasa karena terlepas dari ikatan-ikatan lama yang
membelenggunya ribuan tahun !
Pemuda-pemudi sekalian! Pidato ku hampir habis agak lama aku minta
perhatianmu, tetapi tidak terlalu lama, oleh karena soal yang kubicarakan ialah soal
hidup atau mati, camkanlah dan perhatikanlah: pada masa sekarang ini, Indonesia
menghadapi satu bahaya kelaparan yang tiap-tiap tahun datang kembali, tiap-tiap
tahun tambah besar, dan cepat akan merupakan satu bencana, satu malapetaka, kalau
tidak kita tanggulangi secara tepat. Bahwa Indonesia pada sekarang ini terpaksa
membeli beras dari luar negeri sebanyak 6 a 700.000 ton, besok 800.000 ton, lusa
900.000 ton ; bahwa disana-sini timbul penyakit hongerodeem; bahwa ditanah-air kita
yang indah-permai ini ada anak-anak kecil yang diangkut kerumah sakit oleh karena
periuk nasi dirumah adalah kosong, itu adalah sebenarnya satu tanda ketidakmampuan,
“brevet van onvermogen” dari pada generasi sekarang yang tak mampu
mengenal dan memecahkan soal. Sebagai “mode” didatangkanlah pelbagai ahli
dari luar negeri, yang ya memang ahli, tetapi yang disini masih harus belajar
lebih dahulu. Tetapi ya, generasi sekarang biarlah generasi sekarang. Tetapi engkau,
engkau, pemuda-pemudi di seluruh Indonesia, yang sekarang duduk di bangku
bangku SMA, engkau adalah generasi baru. Engkau adalah generasi yang akan
datang! Engkaulah yang bertanggungjawab atas nasib bangsamu di masa depan. Kita
kekurangan kader bangsa, terutama di lapangan pertanian dan peternakan. Aku
bertanya kepadamu: sedangkan rakyat Indonesia akan mengalami celaka, bencana,
malapetaka dalam waktu yang dekat kalau soal makanan rakyat tidak segera
dipecahkan, sedangkan soal persediaan makanan rakyat ini bagi kita adalah soal hidup
dan mati,-- kenapa dari kalangan-kalanganmu begitu kecil minat untuk studie ilmu
pertanian dan ilmu perhewanan? Kenapa buat tahun 1951/1952 yang mendaftarkan
diri sebagai mahasiswa bagi fakultet pertanian hanya 120 orang, dan bagi fakultet
kedokteran hewan hanya 7 orang? Tidak, pemuda-pemudiku, studie ilmu pertanian
dan kehewanan tidak kurang penting dari studie lain-lain, tidak kurang memuaskan
jiwa yang bercita-cita dari pada studie yang lain-lain. Camkan, sekali lagi camkan, ---
kalau kita tidak “aanpakken” soal makanan rakyat ini secara besar-besaran secara
radikal dan revolusional, kita akan mengalami malapetaka.

Secepat mungkin kita harus membangunkan kader bangsa di atas lapangan
makanan rakyat kalau mungkin laksana cendawan di musim hujan. Secepat mungkin
kita membutuhkan paling sedikit 350 insinyur pertanain, 150 ahli kehutanan,
ratusan ahli seleksi, ratusan ahli pembanteras hama, ratusan ahli pemupuk,
ratusan ahli tubuh – tanah ratusan ahli irrigasi – pertanian – rakyat, ratusan
ahli kehewanan, ---dokter-dokter hewan dan ahli-ahli pemeliharan ternak.
Daftarkanlah dirimu nanti menjadi mahasiswa fakultet pertanian dan fakultet
kedokteran hewan! Jadilah pahlawan pembangunan! Jadikanlah bangsamu ini bangsa
yang kuat, bangsa yang merdeka dalam arti merdeka yang sebenar-benarnya! Buat
apa kita Bicara tentang “politik bebas” kalau kita tidak bebas dalam urusan beras,
yaitu selalu harus minta tolong beli beras dari bangsa-bangsa tetangga? kalau
misalnya peperangan dunia ke-III meledak, entah besok entah lusa, dan perhubungan
antara Indonesia dan Siam dan Burma terputus karena tiada kapal pengangkutan, ---
dari mana kita mendapat beras? Haruskah kita mati kelaparan? Buat apa kita
membuang deviezen bermilyun-milyun tiap-tiap tahun untuk membeli beras dari
negara lain, kalau ada kemungkinan untuk memperlipatganda produksi makanan
sendiri? Segala ikhtiar-ikhtiar kita menekan harga-harga barang di dalam negeripun –
sebagai yang telah kita alami – selalu akan kandas, selalu akan sia-sia, selama harga
beras periodik membubung tinggi, karena harga beras memang menentukan harga
barang yang lain-lain. Politik bebas, prijsstop, keamanan, masyarakat adil dan
makmur, “mens sana in corpore sano”, --- semua itu menjadi omong kosong belaka,
selama kita kekurangan bahan makanan selama tekort kita ini makin lama makin
meningkat selama kita hanya main cynisme saja dan senang cemooh-mencemooh,
selama kita tidak bekeja keras, memeras keringat mati-matian menurut plan yang
tepat dan radikal. Revolusi pembangunan harus kita adakan. Revolusi Besar diatas
segala lapangan, Revolusi Besar dengan segera, tetapi paling segera diatas lapangan
persediaan makanan rakyat. Dan kamu pemuda-pemudi di seluruh Indonesia, kamu
harus menjadi pelopor dan pahlawan revolusi pembangunan itu! Janganlah bangsa
menyesal di hari yang akan datang.

Denga ucapan itulah, saja nanti meletakan batu pertama dari gedung fakultet
pertanian ini .

Sekian ! Terima kasih !

Tidak ada komentar: