Minggu, 22 Februari 2009

Walau Beras Murah, Petani Kita (tetap) Senang

Walau Beras Murah, Petani Kita (tetap) Senang

Beberapa waktu lalu ada salah satu partai (katanya sih, peduli wong cilik) yang mengiklankan akan menurunkan haga sembako (baca beras). Gembar-gembor sana sini, bahwa mereka memiliki mekanisme untuk melakukan itu. Kemudian dari intern PKS muncul pernyataan dari mas Anis Matta (moga rezekinya nurun ke saya, he...he...rezeki yang macem-macem dech...) saat berada di hadapan para petani di Sulawesi Selatan tepatnya di kecamatan Botonompo Gowa Sulsel. Bahwa petani rugi, kalau harga beras murah, seperti yang digemborkan salah satu partai. Lho kok bisa begitu ? Iya, karena dengan harga beras murah, otomatis pendapatan yang diterima para petani lebih kecil.



Lha ini, janokonya LSI mas Denny JA ikutan koar-koar. Bahwa, PKS itu ngawur, menilai pernyataan PKS bahwa semabko murak akan merugikan rakyat, mencerminkan ketidakpahaman partai dakwah itu terhadap persoalan sembako. Permasalahannya, kata mas Janoko itu tadi, yang maksudnya murah itu bukan harganya, tetapi murah dalam artian masih bisa di beli oleh masyarakat, dimana ada kebijakan kontrol (mungkin dari partainya, tetapi seingat saya dulu juga ada janji seperti ini nyatanya sampai sekarang juga belum ada peduli sama wong cilk) agar pemerintah mengontrol supaya harga tetap dalam daya beli masyarakat.

Nah, ini yang menarik. Sepertinya kebijakan sembako murah ini awalnya ya memang diarahkan ke propaganda pemilu agar harga sembako turun (sebelum ada counter dari mas Anis Matta). Sepertinya tak pernah ada kata-kata dalam propagandanya yang menyiratkan bahwa :

1. kami akan mengusahakan agar sembako tetap dalam kemampuan daya beli masyarakat“.

Yang ada adalah

2. Kami akan menurunkan harga sembako“.

Kalaupun toh dengan propaganda yang kedua itu daiharapkan masyarakat akan bisa merepresentasikan sendiri seperti maksud propaganda yang pertama, itu adalah salah besar. Konsultannya yang harus diupgrade lagi. Karena apa ? Karena saat ini masyarakat kita tahunya ya yang secara lahiriah saja. Jadi kalau propaganda yang kedua itu yang digemborkan, ya masyarakat luas tahunya adalah harga sembako memang akan diturunkan. Mereka nggak akan mikir apa itu kemampuan daya beli, apa itu kontrol harga dan lain-lain. Yang mereka tahu adalah partai „anu“ itu janjinya akan menurunkan harga. Nggak percaya ? Sekarang lihat kenyataan akhir-akhir ini. Begitu ada kabar dukun tiban di Jombang, berduyun-duyun masyarakat tanpa memakai rasio mendatangi tempat praktek si Ponari. Kenapa ? Kaena yang mereka tahu dan pahami adalah kabar bahwa penyakit berat yang seharusnya disembuhkan secara medis memakan banyak biaya cukup dengan satu celupan (he...he.., kaya pas after breakfast itu lho, kadangkala „lup“, langsung selesai trus berangkat kerja) dan biaya amat sangat murah, sembuh...!!!! (katanya). Mereka tidak melihat bagaimana Ponari harus berkorban, dari awal „rela“ disambar gledhek, sekolah terlunta, dan masa kecil yang tersita. Mungkin saat Ponari celupkna batu saktinya itupun dia tertawa dalam hati, satu monyet kena tipu, dua monyet kena tipu, tiga monyet kena tipu dan seterusnya. Tetapi yang pasti dalam case ini kata kuncinya adalah „MURAH“.

Singkanyat, masyarakat kita masih perlu „suapan jadi“ yang tinggal telan. Bukan janji yang berwujud mi instant yan masih harus mengolah sendiri.

Kembali ke awal, sebenarnya ada kaitan antara pernyatan mas Anis dengan mas Denny ini. Kalau mas Denny menyatakan bahwa murah dalam tataran dalam jangkauan daya beli masyarakat, root case nya adalah bagaimana supaya daya beli masyarakat ini bisa menjangkau harga yang dimaksud. Bukan hanya beras, tetapi semua aspek ekonomi ini bisa berjalan. Kuncinya ada di PETANI.

Petani dalam berproduksi akan berorientasi pada hasil. Dengan hasil yang melimpah, mereka akan senang. Tetapi syaratnya adalah hasil melimpah terebut diperoleh dengan input yang minim. Ingat hukkum ekonomi, menhasilkan hasil yang maksimal dengan input minimal. Dan jika ditunjang dengan jamianan pasar yang baik (disini pemerintah yang berkuasa nantinya berperan), pendapatan petani akan meningkat. Dengan adanya jaminan pasar yang baik, harga pertanian akan stabil sehingga petani tidak dirugikan. Nah, setelah ini baru masuk ke pernyataan mas Denny JA tadi. Dengan meningkatnya pendapatan petani, daya beli mereka akan naik. Naiknya daya beli petani ini akan membawa konsukuensi positif pada perputaran ekonomi di sektor lain. Di Industri, petani akan mampu membeli hasil industri (barang atapun jasa) karena daya belinya telah meningkat. Karena hasil produksinya tersalurkan, komponen industri akan bergairah dengan semakin cepatnya cashflow mereka, sehingga ancaman PHK, pailit dan kredit macet akan tereliminisir. Dengan terjaminnya cashflow masyarakat industri, mereka juga tidak akan keberatan untuk membeli sembako(beras) dengan harga yang wajar, dimana petani tidak dirugikan dan masyarakat tidak merasa kemahalan. Di perbankan, dengan lancarnya angsuran kredit industri karena output mereka terserap pasar, gairah perbankan juga akan meningkat. Belum lagi meningkatnya tabungan(saving) karena baik petani maupun pekerja industri (jasa dan barang) masih mempunyai cadangan untuk disimpan di bank.

Akhirnya bank-pun akan lebih mudah memberi pinjaman ke petani untuk berproduksi lagi. Begitu seterusnya.

Nah, sekarang bagaimana agar petani bisa menjual dengan harga murah, tetapi tetap tidak merugi ?

Ya itu tadi, input yang minimum menghasilkan output maksimum. Salah satu yang bisa menjadikan input minimum adalah pengolahan tanah. Bayangkan jika mengolah tanah dengan manual tenaga manusi. Lama, bro… dan akan memakan biaya mahal. Karena hitungannya adalah HOK (hari orang kerja) dikalikan lama waktu pekerjaan selesai. Makanya, untuk memastikan input yang minimum harus ada tehnologi yang masuk ke dalamnya. Sala satu cara pengolahan tanah yang efisien dar segi biaya ya, tehnologi. PAKAI TRAKTOR.!!! Disininlah LANGKAH NYATA TELAH DILAKUKAN MAS ANIS MATTA AGAR HARGA SEMBAKO (BERAS) MURAH tetapi petani tidak merugi, ADALAH LANGSUNG MENUJU KE KUNCI MASALAHNYA. MEMEBRI BANTUAN TRAKTOR KE PETANI DI SULSEL, sehingga minimizing input tercipta. Itu cuma satu langkah kecil dari agenda besar.

Bukan hanya bicara meningkatkan daya beli, tetapi tidak mencari darimana sumber penigkatan daya beli itu bisa dicapai. Jadi, please dech mikirnya pusing amat seh…… NON SENSE PEMBANGUNAN AKAN TERCIPTA KALAU PETANI tetap SENGSARA……

HIDUP PETANI …..!!!!!!



Salam, dari penghulu Jagung.


Tidak ada komentar: