Mbah Jo sedang dirawat di rumah sakit. Kata dokternya asmanya sudah kronis,
sampai-sampai hidungnya dipasang selang.
Sudah beberapa hari ini mbah jo diam saja seperti orang koma, hanya matanya saja yang masih kelihatan "kethip-kethip".
Dikira sudah waktunya untuk "mangkat", anak-anaknya mengundang Pak Modin supaya mbah Jo di doakan agar lancar jalannya. Pak Modinpun datang bawa buku kecil. Dengan bangganya dia memberitahukan bahwa sepertinya mbah Jo memang butuh didoakan. Biasanya,orang yang sudah seperti ini kalau saya bacakan doa, kalau sembuh ya sembuh, kalau memang sudah waktunya, pastilah cepat datangnya. Begitu kira-kira komentar si Modin waktu itu.
Pas pak modin enak-enaknya baca doa, tiba-tiba mbah Jo megap-megap nggak bisa bernapas. Kayak orang kecekik. Wajahnya pucat, tangannya gemetar. pakai bahasa isyarat, mbah Jo menirukan gaya orang nulis. Anak-anaknya mengerti maksudnya, langsung diambilkanlah kertas dan pulpen.
Sambil megap-megap, mbah Jo menulis surat. Dan dengan sisa-sisa tenaganya, mbah Jo kasih surat itu ke P. Modin yang sedang asyik baca doa untuk dia. Oleh pak Modin, kertas tadi langsung dimasukin saku, rasanya kok nggak enak membaca surat wasiat pada kondisi seperti ini. Begitu pikir si Modin.
Setelah memasukkan surat tersebut ke saku, Pak modin dengan khusyuk dan semangat meneruskan doanya, agar mbah Jo diberi kemudahan dalam menghadapi sakaratul maut. Tidak lama setelah itu, benar... mbah Jo meninggal.
Mbah Jo mangkat. Begitu banyak orang merasa kehilangan, dikarenakan mbah Jo itu orangnya baik, senang menolong, tidak pernah sombong, dan amat dikenal masyarakat sebagai sosok yang baik budi dan rendah hati. Walaupun orangnya kelihatan sangar. Karena kesangarannya, pernah saat pulang pengajian, mbah Jo naik motor kesukaannya. Eh....., tahu-tahu disenggol dari samping kanan oleh mobil. Untung tidak jatuh. Bukannya minta maaf, justru sisopir berhenti setelah menyenggol dan keluar dari mobil mau ndhamprat si mbah Jo. Mbah Jo pun setelah tersenggol, memarkir motornya dan berjalan ke arah si sopir. Tahu mbah Jo turun, sisopir justru masuk lagi ke mobil dan menstarter mobilnya. Lari tunggang langgang. Dia kaget setelah mbah Jo turun baru kelihatan kesangarannya..... Eh, mbah Jo cuma membatin, " Lha wong tak samperin karena saya mau minta maaf, kok malah lari. Ya sudah... Wong tadi yang salah saya karena belok nggak pakai sign..". Itu salah satu cerita kesangaran dan kebaikan mbah Jo.
Tepat 7 hari selamatan meninggalnya mbah Jo, pak Modin diundang lagi. Benar-benar modin yang rajin. Untuk urusan selamatan-selamatan seperti ini, walau tidak ada tuntunannya dalam Islam, si Pak Modin ini pasti datang. Wong menjalin silaturahim kok. Begitu alasannya dia menegakkan tradisi Jawa ini. Walaupun selamatan itu pakai ingkung untuk sesajen yang mbaurekso desa, Pak Modin ini pasti mendoakan tumpeng-tumpeng yang dipakai kenduri sebelum dibagi-bagikan kepada para undangan (sekali lagi ini kan amal dari shohibul bait, katanya sebagai ungkapan terima kasih kepada para undangan yang telah bersedia mengirimkan barokah doa untuk almarhum. Padahal kalau dipikir-pikir, sebagian para undangan itu apa sudah kelebihan barokah atas doa yang dia panjatkan ? Wong barokah untuk dia sendiri aja masih banyak yang kurang, kok malah dibagi-bagikan. Hebat bener ni orang....). Setelah memimpin doá plus tahlil (nah inipun di Arab Saudi katanya juga nggak ada), Pak Mudhin baru teringat kalau dia masih memakai baju batik yang dipakai pas mendoakan ketika mbah Jo meninggal dulu di Rumah Sakit. Kebetulan juga belum dicuci oleh istrinya, sehingga surat mbah Jo masih tersimpan utuh di saku. Waduh selamet, untung aku teringat. Begitu pikirnya.
”Saudara-saudara semua,ada surat dari Almarhum mbah Jo yang belum saya sampaikan, kepada keluarga. Kalau melihat waktu hidupnya mbah Jo, isinya pasti nasehat nasehat baik untuk anak cucu dan kita semua. Maka dari itu, bagaimana kalau kita baca bersama-sama, sehingga nasihat yang baik ini bisa didengar oleh masyarakat luas. Mari, kita baca suratnya. Bagaimana ? Setuju, sedulur-sedulur?" kata pak Modhin waktu itu dengan bangganya.
"SETUJUUUUUUUU. LANJUTKAN...., Pak. LEBIH CEPAT LEBIH BAIK. Nasehat baik yang Pasti Pro Rakyat...", begitu tanggapan hadirin undangan.
Setelah itu, Pak Modhin merogoh kantong baju batiknya, dan dengan suara yang keras memakai speaker bekas tahlilan, dengan lantangnya dan dada berdebar karena bangga, pak modin membaca sekeras-kerasnya surat mbah Jo yang ternyata berbunyi :
HE.....MODIN, PERGILAH KAU DARI SITU...!! JANGAN BERDIRI DI ATAS SELANG OXYGENKU..!! AKU GAK BISA NAPAS, DIN...
Sontak acara kenduri yang dipimpin sang modin geger, karena jantung pak Modin berhenti berdetak.
Read More......